Sabtu, 10 Januari 2015

Petilasan Jaka Tingkir, Sebuah Objek Wisata Religi Dan Sejarah


Petilasan Jaka Tingkir, Sebuah Objek Wisata Religi Dan Sejarah



Patilasan Jaka / Joko Tinggkir Rawamerta (KarIn) – Petilasan Jaka Tinggkir berada satu komplek dengan Monumen Rawagede, hanya saja Petilasan Jaka atau Joko Tinggkir ini letaknya lebih ke dalam lagi dari jalan raya. Di lokasi petilasan beberapa pohon besar tumbuh subur sehingga menimbulkan kesan alami. Menurut warga disana, pohon-pohon besar tersebut dibiarkan tumbuh agar menambah kesan magis di lokasi yang dikeramatkan tersebut.
Konon, menurut cerita Mbah Darsim Bhewok, sang juru kunci Petilasan Jaka Tinggkir,  pada jaman dahulu kala, pada saat Kampung Rawagede masih berbentuk hutan belantara, Jaka Tinggkir pernah mampir di salah satu tempat di Rawagede ini untuk melakukan Tapa Brata mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Beliau duduk bersila diatas tanah tanpa ada pelindung dari apapun. Kalau hujan-kena hujan dan kalau panas juga kena panas. Beliau tidak memperdulikan dirinya lagi, tujuan beliau satu-satunya adalah benar-benar konsentrasi untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
“Saking berkonsentrasinya bersemedi, beliau sudah tidak merasakan apa-apa lagi gangguan dari luar. Menurut cerita, karena kesaktian yang beliau miliki, setiap binatang yang akan mendekat mati seketika sebelum bisa menyentuh badan beliau. Kalau ada nyamuk terbang dan akan hinggap di badannya, sebelum nyamuk tersebut bisa menempel di badan beliau, nyamuk tersebut mati. Begitupun halnya dengan berbagai binatang lain,” tutur Mbah Darsim.
Tempat Sejarah di Karawang Jawa BaratLebih lanjut, Mbah Darsim menuturkan menurut cerita yang Ia kumpulkan, jika ada burung terbang diatas kepala Jaka Tingkir, burung tersebut uga akan langsung jatuh dan mati. “Saking banyaknya binatang-binatang yang mati, maka bangkai binatang tersebut akhirnya membentuk tumpukan tanah yang menyerupai ‘hunyur’ (bukit kecil) yang kelak di tempat duduk dan tumpukan bangkai binatang yang sudah membentuk bukit kecil itulah yang dikeramatkan sebagian Warga Rawagede,” papar Mbah Darsim.
Jaka (Joko) Tingkir adalah nama julukan dari Mas Karebet, anak dari Kebo Kenanga, murid Syekh Siti Jenar. Ia diangkat anak oleh janda Nyi Ageng dari desa Tingkir, guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga, kemudian Ki Ageng Selo. Dalam pengembaraannya untuk mempelajari agama dan ilmu kesaktiannya, sampailah Ia di Wilayah Rawagede yang kini menjadi patilasannya.

Sejarah Bendungan Walahar

Bendungan Walahar, Saksi Peradaban Sungai Di Karawang



Ciampel (KarIn) – Bendungan Walahar yang terletak di Desa Walahar Kec. Ciampel, Karawang ini digunakan sejak tanggal 30 November 1925. Dibangun pada masa penjajahan Belanda, dimana dalam pembangunannya mengandalkan tenaga pribumi. Maka tidak heran jika arsitekturnya mengingatkan kita pada bentuk bangunan sisa penjajahan Belanda lainnya yang masih bisa kita temui di berbagai pelosok tanah air.
Bendungan yang membagi air Sungai Citarum ini difungsikan untuk mengatur debit dan sirkulasi air dalam mengairi areal pesawahan di Karawang seluas ±87.507 ha.
Selain untuk mengairi sawah, bendungan ini juga berfungsi sebagai penahan air ketika daerah Karawang bagian utara dilanda banjir di musim penghujan, seiring meluapnya air laut di pantai utara.
Kini, setelah Belanda angkat kaki, bendungan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pengairan. Akan tetapi juga menjadi tempat bersejarah yang menarik untuk dipelajari dan diteliti, serta menjadi area wisata bagi warga baik dalam maupun dari luar Karawang.
Sebagai tempat bersejarah, Bendungan Walahar adalah saksi dari bergesernya peradaban sungai khususnya di Karawang. Setidaknya, Belanda yang terkenal memiliki keunggulan dalam sistem pengairan mempelopori dibuatnya bendungan ini dengsn memaksimalkan Sungai Citarum dan membaginya kedalam anak sungai yang disebar kepenjuru Karawang.
Merunut pada catatan sejarah yang ada, di masa kerajaan, Sungai Citarum merupakan jalur utama perdagangan dan transportasi, disaat jalur darat memiliki resiko lebih tinggi. Adanya pelabuhan karawang yang kini menjadi Alun-Alun Karawang serta peninggalan candi di Batujaya yang dibangun Kerajaan Tarumanegara menjadi bukti sangat pentingnya Sungai Citarum sejak dulu.
Kemudian,sebagai tempat wisata, Bendungan Walahar selain menyajikan pemandangan yang eksotik juga menjadi tujuan wisata kuliner. Maka tidak heran jika lokasi ini menjadi salah satu tempat favorit untuk muda-mudi bermadu kasih dan tempat tua muda bersantap di warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman, khususnya dilokasi yang sudah ditata menghadap kearah bendungan. Pepes ikan dan ikan bakar menjadi menu andalan dilokasi ini.
http://www.karawanginfo.com/?p=231

Sejarah candi jiwa


Sejarah Candi Jiwa


Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.

Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.

Lokasi
 
Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.

Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onuratau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Candi Jiwa

Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.
Jalan setapak yang akan dikelilingi umat Budha saat mengadakan ritual
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosongdibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya. 


sumber : http://berpetualangdiindonesia.blogspot.com/2011/04/wisata-sejarah-di-candi-jiwa-batu-jaya.html

Sejarah Monumen Rawa Gede


SEJARAH MONUMEN RAWA GEDE





MONUMEN RAWAGEDE adalah sebuah Taman Makam Pahlawan para pejuang khususnya yang tewas pada pembantaian Massal Rawa Gede. Monumen ini didirikan untuk mengenang Pembantaian Masal yg menewaskan + 431 orang warga sipil pada tahun 1947 oleh Belanda. Monumen Rawagede terletak di Desa Balongsari, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, JABAR berdiri tegak sejak 1996 . Monumen ini salah satu  saksi bisu dari sejarah betapa sadis dan kejinya penjajah Belanda pada saat itu, dengan tanpa ampun dan berprikemanusiaan membantai habis setiap warga yang terlihat dan tidak mau memberikan informasi. Monumen Rawa Gede salah satu bukti bahwa Kota Karawang layak dan pantas berpredikat KOTA PANGKAL PERJUANGAN.

Perjuangan  warga Rawagede dan sekitarnya bukti nyata bahwa Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan dengan tumbal darah, harta, dan nyawa rakyat Indonesia, bukan kemerdekaan hasil dari kasihan, simpati, dan pemberian sia - sia dari Belanda.

Peristiwa Pembantaian di Rawagede

Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.

Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in IndonesiĆ« begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.

Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.

http://permatasarilisa.blogspot.com/2012/03/sejarah-monumen-rawa-gede.html